Jatuh cinta itu menyenangkan ketika saya menghabiskan beberapa malam untuk tertawa dengannya, bertukar cerita hingga pagi menjelang. Jatuh cinta itu menyenangkan ketika saya bisa tersenyum-senyum sendiri di kamar ketika membaca kata yang diketiknya di layar ponsel saya. Sebelum akhirnya saya tersadar bahwa, ketika kita jatuh, maka konsekuensinya adalah jika tidak ada yang patah maka sakitlah yang terasa.
Sama halnya seperti hukum Kirchoff satu yang sudah di modifikasi sedemikian rupa. "Jumlah tawa yang keluar saat bersamanya sama dengan jumlah tangis yang keluar saat dia meninggalkan kita."
Dan seperti itu pula ketika dia, tiba-tiba, menghilang begitu saja dari hidup saya. Tanpa sepatah katapun terucap.
Dan suatu hari ketika seorang teman bertanya apa yang membuat saya jatuh cinta padanya, bahkan sampai rela untuk menunggunya lebih dari dua puluh empat purnama, saya hanya terdiam dan mulai untuk berpikir. Nyatanya, saya tak pernah menemukan satu alasan pun yang tepat. Saya mencintainya. Itu saja. Tanpa alasan.
Dia bukan seseorang yang tampan, tapi dia manis dengan senyuman di wajahnya dan lucu ketika lidahnya terjulur keluar saat melihatku. Dia bukan seseorang yang pintar. Dia hanya lebih pintar dariku dan pintar membuat jokes ringan yang akhirnya membuat tergelak setengah mati. Dia seorang biasa yang kadang-kadang terlihat begitu sempurna di mata saya.
Saya mencintainya. Tapi tidak dengan dia. Jika alasan tak mencintai adalah jarak, mungkin saya bisa berusaha memotongnya. Tapi lagi-lagi saya harus sadar bahwa cinta adalah hati. Bukan suatu kondisi yang menjadi akibat dari suatu sebab.
Makassar, akhir Mei 2011