Merpati. Gadis itu. Aku tahu dia akan selalu ada di sana, duduk menyendiri di sudut kelas dengan headphone yang menempel di telinganya.
Merpati berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah aku kenal. Dan mungkin perbedaan itulah yang membuatku jatuh cinta padanya sejak pertama aku menemukannya berada satu kelas denganku.
Sering kutemukan gelap di sudut matanya yang jernih. Kadang-kadang bahkan membuatku ingin menyalakan korek api untuk mengusir gelap yang tersirat. Atau bahkan aku akan menjadi pelangi yang akan merubah warna gelap itu menjadi warna-warna yang terang.
Seorang pemuda berdarah indo berjalan menerobos pintu kelas, melintas di depanku, dan berjalan ke arah Merpati. Aku hanya meliriknya sesaat.
“LKS matematika kamu udah selesai semua kan? Aku pinjem ya?” Suara serak-serak basah pemuda itu terdengar pelan di telingaku.
Pemuda itu, Angin. Aku sering melihatnya bersama Merpati. Entah kenapa, tapi aku selalu merasa tak senang jika merpati dekat dengannya.
Merpati melepas headphonenya, membuka tas, dan mengeluarkan LKS matematikanya. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan LKS itu pada Angin.
“Ok. Aku ke kelas dulu.”
*****
Pohon. Pemuda yang sedang mengerjakan tugas di mejanya yang berada di barisan depan itu selalu terlihat sempurna di mata gadis-gadis seantero sekolah. Ya, bahkan aku pun mengakuinya.