Oleh : Yuli Asri Aristia Putri
--------------------------------------------------------------------------------------------------
2 Desember 2008
Namaku Desember. Cukup unik kan? Ibuku yang memberikan nama itu padaku sebelum akhirnya ia meninggal saat umurku tak lebih dari tiga tahun karena mengidap penyakit jantung yang akut.
Aku tidak lahir di bulan desember jika kau mengira namaku melambangkan bulan kelahiranku, melainkan bulan mei. Ibuku memberikan nama itu karena ia sangat menyukai bunga desember, dan ia berharap anak gadisnya akan tumbuh secantik bunga desember.
Aku sendiri menyukai bulan desember. Saat di mana hujan akan turun hampir setiap hari dan bunga desember akan mekar dengan sempurna menghiasi halaman rumahku. Dan saat itu pula pertama kali aku melihatnya. Tersenyum manis dan menyapaku.
****
"Gue Rain."
"Desember."
Desember. Gadis yang cantik. Secantik bunga desember yang tumbuh memenuhi halaman rumahnya yang bercat putih. Pipinya yang merah merona, rambutnya yang lurus, dan kulitnya yang kuning langsat.
“Hmm.. Pasti lahirnya bulan desember ya?” Aku menebak dengan sangat percaya diri. Dan sialnya, ia malah tertawa kecil dan menggeleng.
“Mei.”
“Hah?” Sungguh. Aku masih tak percaya dengan jawabannya barusan. “Lalu.. kenapa Desember
?”
“Karena bunga desember itu cantik. Dan ibuku menyukainya.”
“Ya. Bunga desember memang cantik. Secantik kamu.” Aku mengiyakannya dalam hati. “Pantas saja banyak bunga desember di sini.”
Ia tersenyum. Selalu tersenyum. Manis sekali dengan lesung pipit yang tampak di kedua pipinya itu.
“Pasti ibu kamu juga cantik ya.”
“Ya.” Ekspresinya seketika berubah. “Sayang dia udah pergi.”
“Kemana?”
“Ke sana.” Ia memandang ke atas langit dengan raut sedih tetapi kemudian tersenyum simpul.
“Oh my God” Ku sesali kebodohanku yang sepertinya sudah melebihi standart orang-orang bodoh. “Maaf.. aku..”
“Nggak papa.”
*****
20 Desember 2008
Seperti namanya, Rain, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti hujan. Ia sering menjadi hujan dalam hidupku. Membasahi hidupku yang kering kerontang layaknya gurun pasir di padang sahara. Menumbuhkan bunga Desember di setiap hariku.
Jika ini mimpi, aku tak pernah ingin untuk bangun dan mengakhiri mimpi ini. Aku ingin hidup dalam mimpi ini seterusnya. Karena dengannya aku merasa hidup. Desember bisa hidup karena hujan turun.
*****
Aku melihatnya di depan kelas yang berada di depan lapangan Volly di ujung sekolah. Bersandar di tiang yang menyangga gedung kelas itu. Matanya tertutup. Headphone menempel di telinganya.
Aku melangkah ke arahnya. Tersenyum. Wajahnya terlihat semakin cantik dalam ekspresi seperti ini. Sungguh.
Ia membuka mata ketika aku sampai di depannya. Sepertinya ia mendengar derap langkahku. “Rain?” Ia terlihat bingung ketika melihat wajahku.
“Hey.” Ku sapa ia dengan senyuman termanis yang pernah aku punya.
“Lo sekolah di sini juga?”
“Yup.”
“Kok nggak pernah lihat sih?”
“Gimana mau lihat, orang lo nongkrongnya di sini mulu. hahaha” Aku mengacak poni rambutnya pelan. “Padahal gue termasuk cowok populer lho di sini.”
“Oh ya?”
“Iya dong. Nggak percaya?”
“Yah, percaya aja deh.”
“Sialan!”
“Hahaha.”
Dan dunia seketika terlihat begitu sempurna ketika aku bersamanya. Karena jatuh cinta itu ternyata begitu indah.
*****
15 Mei 2009
I never feel lonely anymore when desember has gone. Because the rain falls everyday. :)
*****
“Permainan gitar kamu bagus.” Ia memujiku sesaat setelah aku menyelesaikan petikan gitarku.
“Makasih. Nggak punya uang receh.”
“Iiih.. Aku serius.”
“Iya iya. Tapi nggak usah monyongin bibir gitu dong. Jelek tau. hahaha ” Aku mencubit hidungnya yang tidak terlalu mancung. “Senyum dong.”
Ia tersenyum lebar.
“Jangan lebar-lebar, ntar kayak Omas lagi.”
“Ih, kamu.” Ia tertawa kecil, kemudian mencubit lengan kananku.
“Hehehe.”
“Hmm.. bisa minta sesuatu nggak?” Sesaat, ia terlihat begitu serius.
“Apa? Minta jadi pacarku?” Aku mengerling nakal. Mencoba menggodanya. Tapi sepertinya ia tak bereaksi
Ia menggeleng pelan. “Bikinin aku satu lagu. Khusus buat aku. Bisa kan?”
“Bisa.” Seketika ia tersenyumdengan tanggapanku. “Tapi ada syaratnya.” Aku mengerling lagi. Ia beringsut pelan. Sedih.
“Apa?”
“Wani piro?” Dan bantal yang ada di sampingnya pun melayang ke arah wajahku.
*****
10 Desember 2009
Desember bisa hidup karena hujan turun. Tapi sepertinya kali ini hujan tak kan turun. Walaupun bulan ini adalah bulan desember.
Aku kangen bunda. Aku ingin sekali menyusulnya. Dan sepertinya hal itu akan segera terjadi. Sepertinya. Tapi aku tak ingin berpisah dengan Rain. Karena selama ini ia selalu membuatku hidup. Aku tak sanggup jika harus melihatnya menghilang dan digantikan panas yang selalu membuatku hampir mati.
*****
Aku pikir bunga desember akan selalu hidup di bulan desember. Tapi ternyata aku salah. Bunga desember tak pernah abadi. Dan mungkin aku tak kan pernah melihatnya lagi saat desember tiba. Ia telah pergi di bulan yang ia sukai.
Gadis itu tlah pergi. Desember. Tiba-tiba saja aku menemukannya di tengah jalan sepi dekat sekolah dengan tubuh yang berlumuran darah. Tak ada yang mengetahui siapa yang menabraknya.
Hatiku sakit. Remuk. Hancur. Sedih. Tapi aku tak pernah bisa berbuat apapun. Bahkan saat ini mataku pun tak bisa mengeluarkan air mata. Karena tiba-tiba saja musim panas datang begitu saja. Di bulan desember yang menurutnya paling indah.
*****
“Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi(Efek Rumah Kaca – Desember)
Dibalik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis hujan
dibulan desember,
Di bulan desember
Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar