Selasa, 19 April 2011

Hujan, Kamu

Aku menyukai hujan. Menyukai tetes airnya yang mengenai kulitku ketika aku berada di tengahnya. Di tengah irama merdu yang mengalun dan menyelinap ke dalam rongga telingaku. Menjatuhkanku ke dalam satu rindu yang tak bermuara. Satu rindu tentang kamu.


When the sky is dark
When the cloud is cloudy
It’s rain
And i know you’ll be here..
Beside me..

000

Kamu selalu bilang, hujan adalah lagu yang paling merdu. Lagu yang senantiasa kamu dengarkan. Yang selalu mengalun ketika kamu merasa sendiri.


“Tak ada lagu yang paling indah selain hujan.” Itu katamu saat kita berdiri di dekat jendela rumahmu sambil memandangi hujan yang turun di luar sana. Saat itu hujan turun lebat dan aku tak berani pulang. Padahal hari itu aku harus segera pulang.

“Aku akan mengantarmu pulang.”

“Dengan berhujan-hujanan?” Aku mengangkat sebelah alisku. Sedikit khawatir.

Aku belum pernah berhujan-hujanan. Ibuku selalu melarangku untuk melakukan hal itu setiap kali aku merasa iri pada teman-temanku yang, dengan raut gembira, selalu menari-nari di tengah hujan.

“Tak apa. Hujan tak akan memakanmu.” Kamu tertawa kecil. Mungkin menertawaiku yang begitu takut dengan hujan.

Kamu menarik lenganku dengan lembut sambil berjalan ke arah pintu rumahmu yang bernuansa jawa.

“Tunggu!” Aku menggenggam lenganmu sesaat sebelum kamu melangkah menerjang hujan. Wajahmu yang jenaka itu seketika berubah.

“..??”

“Kamu serius?” Aku bertanya untuk yang kesekian kalinya. Meyakinkan diriku sendiri.

“Seribu rius. Ayo!” Katamu mantap. Kemudian menggenggam jemariku erat dan segera menarikku ke dalam duniamu. Dunia yang penuh dengan hujan.

Aku menutup mata. Membalas genggamanmu erat. Tak lama, saat aku membuka mata, aku sudah berada di tengah hujan. Dan aku merasa ada yang lain di sana. Sensasi luar biasa yang belum pernah kurasakan ketika hujan mengenai kulitku. Rasanya begitu damai, bebas, menyenangkan, dan entah apalagi.

Aku terbawa suasana. Suasana dalam duniamu. Kemudian dengan lincahnya aku segera mengikutimu menari di tengah derasnya hujan yang turun. Menengadahkan kepala seakan menantang langit dan sesekali membuka mulutku untuk merasakan air yang turun.

“BRRRRR...”  Aku menggeleng-gelengkan kepala seakan melepas semua beban yang ada dalam diriku.
“Menyenangkan kan?” kamu tersenyum melihat tingkahku.

Aku mengangguk sambil tersenyum penuh arti.

000

Otakku masih saja menyimpan memori itu. Memori saat masih bersamamu. Memori yang takkan terhapus oleh waktu. Sampai kapanpun memori itu akan tetap ada di dalam otakku. Bersemayam di sana dan tak kan pernah usang.

Hujan turun lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya dalam satu hari ini. Tapi aku cukup merasa senang. Karena hanya dengan seperti ini aku merasa dekat denganmu.

Menyenagkan sekali jika masih bisa berbagi tawa bersamamu saat ini. Tapi aku bisa apa. Aku tak bisa menyalahi takdir. Takdir yang tiba-tiba menyeretmu menjauh dariku.

Dan hujan akan tetap selalu menjadi hujan. Bukan suatu alat yang bisa menyeretmu kembali di sini. Di sampingku.

000

“Cinta itu nggak harus memiliki.” Itu katamu. Dan aku tahu itu. Tapi, salahkah jika perasaan ini masih mengharapkanmu untuk tetap di sini?

Cinta itu memang meyakitkan. Tapi lebih menyakitkan mengetahui kamu sudah tak bisa lagi di sampingku. Untuk sekedar melihatmu pun ternyata aku sudah tak bisa.

Cinta memang kejam. Tapi dunia lebih kejam karena telah menyeretmu pergi. Menghilangkanmu dari hadapanku untuk selamanya. Hingga yang ku lihat hanya sepi yang mendominasi.

Lagi-lagi aku terkalahkan oleh sebuah kenyataan yang hadir di hadapanku. Membunuhku pelan-pelan lewat penyakit kehilangan yang ia sebarkan dalam diriku.

Dan lagi-lagi aku bisa apa. Karena perasaanku ternyata memang masih sama seperti yang pernah kamu tahu. Sedikit janji yang pernah kamu beri pun ternyata tak cukup untuk menghilangkan berjuta rasa sakit yang menyerangku.

000

Hari ini. Tepat satu tahun kamu pergi meninggalkanku, meninggalkan bumi yang kamu sukai dengan hujannya yang menyenangkan.

Aku berdiri di samping batu nisan yang bertuliskan namamu. Di iringi tetesan hujan yang sepertinya juga ikut kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang mencintainya dengan tulus.

Takdir ternyata begitu cepat menyeretmu kembali ke pangkuan-Nya. Memaksaku untuk sadar bahwa kamu lebih baik di sana. Bukan di bumi yang akan terus-terusan menyakitimu.

Ku remas surat terakhirmu yang entah sudah berapa kali basah oleh air mataku. “Aku akan melepaskanmu. Aku ikhlas.” Aku mengucapkan kata-kata itu berkali-kali dalam hatiku sambil berusaha menahan tangisanku yang kurasa akan pecah saat ini juga.

Dan tetes air mata itu pun akhirnya jatuh bersamaan dengan suratmu yang tiba-tiba lepas dari genggaman jemariku. Sama seperti aku yang melepaskanmu.

Aku bukan pergi..
Aku tetap ada..
Selalu..
Dan saat hujan turun..
Aku ada di sampingmu..
Percayalah..


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar