Senin, 10 Mei 2010

Nightmare

Ini adalah cerpen pertama yang berani gw publikasiin di blog gw sendiri. Mohon komentarnya. Maaf juga kalo masih banyak kesalahan. Harap dimaklumi saja karena saya masih amatiran. hehe..

------------------------------------------------------------------

Aku berjalan  memasuki gerbang sekolah dengan agak ragu. Ku lirik jam yang ada di pergelangan tanganku. Pukul 06.35. jalanku agak tersendat-sendat karena kecelakaan kecil yang terjadi sewaktu aku berangkat tadi.
Jantungku agak deg-degan. Ini sudah waktunya belajar. Murid-murid sudah masuk ke kelas. Aku masih berjalan dengan hati-hati dan waspada bak seorang maling yang sedang melakukan aksinya. Maklum, jika ketahuan seorang guru saja, urasannya bisa panjang. Dan ini adalah keterlambatanku untuk yang pertama kalinya.

Sekolahku ini termasuk sekolah favorit dan terkenal sangat disiplin. Jika ada seseorang yang melakukan pelanggaran, ia akan terkena sanksi. Dan biasanya sanksi yang diberikan lumayan berat.
Kelasku berada tak jauh dari ruang guru. Mungkin karena kelasku adalah kelas yang terkenal dengan penghuninya yang agak bengal. Aku semakin deg-degan ketika akan melewati ruang guru. Aku celingak-celinguk waspada. Tak ada guru yang berkeliaran di halaman sekolah. Ku intip ruang guru, masih dengan gaya seorang maling yang tidak terlalu cerdik karena ketinggalan zaman dan tidak bisa memanfaatkan fasilitas barang yang canggih di zaman modern ini, hanya beberapa guru saja yang ada di ruangan itu, dan mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.


Aku berlari kecil tanpa meninggalkan bunyi di lantai. Selangkah melewati ruang guru. Aku mengelus dada. Lega. “huhf.. untung nggak ketahuan. Tinggal satu ruangan lagi.” Ucapku pelan pada diri sendiri. Agu berjalan dengan agak santai, ruangan yang menakutkan itu telah berhasil aku lewati.
“Faya!” panggil seorang pria yang aku yakini itu adalah wali kelasku yang terkenal dengan kegalakannya.
Aku berhenti berjalan. Deg-degan. Tertangkap basah saat setelah berhasil melewati ruangan yang harus dihindari. “Duh! Mampus gwe!” batinku. Aku membalikkan badan. Ternyata memang benar, itu wali kelasku, pak Slamet. “Eh, bapak.” Sapaku dengan seramah dan sesopan mungkin. “Kenapa pak?” tanyaku berlagak bodoh.

“Kamu terlambat ya?” Tanya pak Slamet.

“Nggak kok pak. Saya cuma masuk nggak pada waktu yang tepat.” Ucapku setengah mengeles.

“Sama saja. Itu namanya T.E.R.L.A.M.B.A.T! Mengerti?” Kata pak Slamet dengan agak kesal.

“Mengerti pak.” Ucapku kalem.

“Sekarang kamu ikut saya.” Perintahnya keras.

“Tapi, pak. Saya kan baru aja tertimba musibah. Kaki saya memar abis jatoh. HP saya di curi sama orang. Masa sekarang bapak tega sih ngehukum saya?” Tanyaku dengan nada melas.

“Nggak usah pakek alasan! Cepat kamu ikut saya!”

-000-

Sudah setengah jam lebih aku berdiri di tengah lapangan upacara sambil hormat pada sang merah putih. Matari terasa semakin menyengat. Mungkin ini adalah bentuk rasa nasionalisme untuk mengenang para pejuang Indonesia. Tapi ini terjadi pada waktu yang tidak tepat. Aku menarik nafas. Setidaknya ini lebih baik daripada harus membersihkan toilet yang baunya sangat tidak menyenangkan itu.

“Kenapa gue sial banget ya hari ini?” batinku. “Udah nggak dijemput Arya, berdesak-desakkan dibus sampe jatuh, eh HP di curi sama orang, dan sekarang harus kena hukuman gara-gara telat. Hufh..”
Setelah hukuman selesai aku segera masuk ke kelas, dan seperti yang ada dalam bayanganku, aku langsung diintrogasi oleh teman-teman sekelas. Capek di introgasi, aku langsung menuju ke kantin untuk mennemui Rara, sahabatku, karena kebetulan kami beda kelas.

Di tengah jalan menuju kantin, tepatnya di depan ruang UKS, langkahku dihentikan oleh Angga, gebetan Rara, kami mengobrol panjang lebar dan tertawa bareng di depan UKS. Ternyata Angga anaknya asik juga diajak diajakin ngobrol, apalagi kebetulan dia juga suka musik yang bergenre punk rock. Tapi, aku juga masih ingat bahwa Angga adalah gebetan sahabatku sendiri. Jadi, aku tak mungkin macam-macam dengannya.
Setelah mengobrol dengan Angga dan dapat titipan salam untuk Rara, aku langsung menuju ke kantin sekolan. Tapi, ketika sampai di kantin, ternyata Rara tak ada di sana. Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke kelas Rara, mungkin dia sedang ada tugas dan memilih untuk mengerjakannya di kelas. Baru setengah perjalanan, bel masuk sudah berbunyi. Dan aku memutuskan untuk menemui Rara di jam Istirahat ke dua.
saat istirahat ke dua, aku langsung menuju ke kantin lagi, dan ternyata Rara tak juga ku temui di tempat itu. Ketika ku cari di kelasnya, ia pun tak ada di sana. Tapi ketika ku tanyakan pada teman sekelasnya, ternyata Rara sedang ada di taman sekolah. Aku pun segera menuju ke tempat itu, dan ku temukan Rara di sana.
“Hey, Ra!” Sapaku dengan nada riang.

Rara hanya diam, tak membalas sapaanku. Ia terlihat sibuk membaca novel yang ada di tangannya.
“Mungkin dia sedang menjiwai novelnya, makanya dia tak menyadari kehadiranku.” Pikirku.

“Ra.” Panggilku sekali lagi. Ia masih tak menjawab.

“Rara.” Aku memanggilnya sekali lagi dengan nada agak kesal. Segera ku rebut novel yang ada di tangannya. Ia masih diam, lalu menatapku dengan tajam dan segera merebut novelnya lagi. Aku tak melepaskan novel itu. Tak biasanya Rara bersikap seperti itu padaku.

“Lo kenapa sih, Ra?” Tanyaku kesal karena sedari tadi ia tak juga mempedulikanku.

Rara masih juga diam, lalu ia mencoba berdiri. Aku segera menahan tangannya. “Ra! Jawab pertanyaan gwe dulu donk!” Aku terus memaksanya. Ia tak juga menjawab. Ia mencoba untuk melepaskan cengkraman tanganku. Tapi aku tak juga melepaskan cengkramanku. “Ra!” pangilku sekali lagi dengan nada keras. “Gwe salah apa sih sama lo? Sampe lo kayak gini sama gwe?”

“lo nanya lo salah apa sama gwe? Lo masih nggak nyadar salah lo apa? Heh?” Dia bertanya balik sambil menahan amarah.

“Gwe nggak ngerti! Makanya gwe nanya sama lo.”

“Nggak nyangka ya, gwe punya temen kayak lo gini. Lo udah nusuk gwe dari belakang! Temen makan teman, lo!” katanya kesal.

“Temen makan temen? Maksud lo apa? Gwe nggak ngerti.” Ucapku masih tak mengerti dengan kata-katanya.

“Lo tuh udah punya Arya. Kenapa sih lo juga masih harus ngerebut Angga? Mo dikemanain si Arya? Hah?” Rara masih kesal.

Aku terdiam. ”Jadi, lo marah karena itu? Lo ngelihat gwe sama Angga di depan ruang UKS?” Kataku kemudian. “Lo salah paham Ra! Gwe nggak ada apa-apa sama Angga”

“Salah paham? Gwe ngeliat dengan mata kepala gwe sendiri! Kalian kelihatan mesrah banget!” Ucapnya lagi.

“Lo salah paham! Dengerin penjelasan gwe dulu donk, Ra!”

“ Nggak ada yang perlu dijelasin. Semua udah jelas!”

“Tapi, Ra...”

“Lepasin tangan gwe.” Perintahnya. Aku segera melepasnya. Ia segera berlari meinggalkanku, dan aku hanya bisa melihat kepergiannya.

“Aaaahhh... Shit!” umpatku kesal.

Sepulang sekolah, aku masih meminta Rara mendengar penjelasanku. Tapi ia masih tak mau. Dan akhirnya aku membiarkannya pergi. Mungkin ia butuh waktu untuk sendiri. Aku segera menunggu Arya di depan gerbang sekolah. Aku butuh Arya untuk membantuku menjelaskan semua pada Rara. Hampir setengah jam aku menunggu Arya, ia memang paling suka telat kemana-mana, bahkan untuk menjemputku.

Tak lama, aku mendengar suara motor Arya. Aku sedikit kaget, ada seorang gadis yang diboncengnya. Aku mencoba menetralkan perasaanku. Segera kucoba untuk berpikir sejernih mungkin. “mungkin itu hanya temannya yang hanya numpang sampai sini.” Pikirku.

Arya turun dari motor, diikuti gadis itu. Lalu arya berjalan ke Arahku. Gadis itu masih berdiri tak jauh dari motor Arya. Ku perhatikan gadis itu lekat-lekat. Cantik. Hanya itu yang bisa ku gambarkan.

Aku bersiap untuk memarahi Arya. Tapi sebelum aku berbicara, ia segera meluncurkan kata-kata duluan.
“Sorry, Fay. Gwe ke sini bukan buat jemput lo. Gwe ke sini Cuma mau bilang.. mulai sekarang kita putus.” Ucapnya tanpa basa-basi.

“Apa?” tanyaku kaget. “Lo.. bercanda kan?” tanyaku masih belum bisa menerima kenyataan.

“Gwe serius, Fay. Gwe harap lo bisa ngerti sama keputusan gwe.” Ucapnya meyakinkanku bahwa ia tak sekedar bercanda.

“Apa..  karena cewek itu?” tanyaku ragu.

“Ya. Salah satunya.” Jawabnya. Aku memandangi gadis itu sekali lagi. “Namanya Risa.” Jawabnya seakan mengerti apa yang ada dalam pikiranku. “Dia gadis yang baik, dan dia nerima gue apa adanya. Dia juga nggak pernah marah kalo gue telat jemput dia. Dan gue jatuh cinta sama dia.” Arya menjelaskan.

Air mataku mulai turun. “Jadi, cuma karena itu lo ninggalin gwe?” tanya ku lemas.

“Alasan lain, karena gue nggak tahan sama sikap lo yang suka semena-mena sama gue, dan nggak bisa nerima kekurangan gue.” Jelasnya.

Aku terdiam lagi, air mataku semakin deras saja mengguyur pipiku.  Aku tak menyangka ia akan setega itu padaku. Padahal biasa ia selalu sabar menghadapiku, ia tak pernah marah padaku, bahkan ia tak pernah membalasku jika aku marah-marah padanya. Tapi sekarang? Ia meninggalkanku karena gadis lain.
“ Sorry, gue harus pergi. Cewek baru gue udah nunggu.” Pamitnya.

Aku masih terdiam. Tak bisa berkata apapun. Air mataku masih mengalir. Aku hanya bisa memandangi punggung Arya yang semakin lama semakin jauh meninggalkanku. Ia menaiki motornya, diikuti gadis itu, lalu pergi meninggalkanku sendirian di depan gerbang.

-000-

“Aryaaaaaaaaaaaaaaa” Teriakku kencang. Aku menbuka mata. Keringatku bercucuran. Nafasku terengah-engah. Ku lihat jam yang ada di mejaku. Pukul 04.30. untung saja, ternyata itu semua hanya mimpi. Mimpi buruk. Sangat buruk tepatnya. Aku masih mengingat-ingat mimpi itu. Begitu sakitnya jika aku harus kehilangan sahabat dan juga pacar. Dan aku baru sadar, ternyata aku sangat menyayangi Arya, dan aku tak ingin kehilangannya.

Sejak mimpi itu, aku berubah. Aku merubah sikapku pada sahabatku, Rara, pada teman-temanku yang lain, dan tentunya sikapku pada Arya, aku tak lagi marah-marah jika ia telat menjemputku. aku belajar untuk mencintai kekurangannya. Orang-orang di sekelilingku pun terlihat sangat senang dengan perubahan yang ku alami.

~TAMAT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar