Kamis, 14 April 2011

Merpati dan Pohon.

Merpati. Gadis itu. Aku tahu dia akan selalu ada di sana, duduk menyendiri di sudut kelas dengan headphone yang menempel di telinganya.

Merpati berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah aku kenal. Dan mungkin perbedaan itulah yang membuatku jatuh cinta padanya sejak pertama aku menemukannya berada satu kelas denganku.

Sering kutemukan gelap di sudut matanya yang jernih. Kadang-kadang bahkan membuatku ingin menyalakan korek api untuk mengusir gelap yang tersirat. Atau bahkan aku akan menjadi pelangi yang akan merubah warna gelap itu menjadi warna-warna yang terang.

Seorang pemuda berdarah indo berjalan menerobos pintu kelas, melintas di depanku, dan berjalan ke arah Merpati. Aku hanya meliriknya sesaat.

“LKS matematika kamu udah selesai semua kan? Aku pinjem ya?” Suara serak-serak basah pemuda itu terdengar pelan di telingaku.

Pemuda itu, Angin. Aku sering melihatnya bersama Merpati. Entah kenapa, tapi aku selalu merasa tak senang jika merpati dekat dengannya.

Merpati melepas headphonenya, membuka tas, dan mengeluarkan LKS matematikanya. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan LKS itu pada Angin.

“Ok. Aku ke kelas dulu.”

*****

Pohon. Pemuda yang sedang mengerjakan tugas di mejanya yang berada di barisan depan itu selalu terlihat sempurna di mata gadis-gadis seantero sekolah. Ya, bahkan aku pun mengakuinya.


Aku menyukainya sejak kali pertama aku mendengar suara merdunya di acara pensi sekolah setahun yang lalu. Tapi saat itu juga aku sadar, seseorang sepertinya tak akan mungkin menyukai gadis sepertiku. Dan itu yang membuatku ingin melupakannya dan menerima tawaran Angin untuk menjadi kekasihnya.

Hubunganku dengan Angin tak berlangsung lama. Entahlah, ia memutuskanku setelah ulangan semester genap. Dan itu membuatku cukup merasa sedih.

Saat kenaikan kelas, takdir mempertemukanku kembali dengan pohon dalam satu ruangan kelas 9. Dan untuk pertama kalinya aku dapat mendengar suaranya yang memanggil namaku dengan lembut.

*****

Merpati. Aku menyayanginya. Dia gadis yang baik dan pintar. Walaupun hubunganku dengannya tak berlangsung lama, tapi aku cukup merasa bahagia pernah bersamanya.

Aku tahu dia menyukai pohon. Dan itu pula yang membuatku melepaskannya. Membiarkannya terbang bebas seperti yang ia inginkan.

Saat aku memasuki kelas Merpati, aku menemukan pohon menekuni tugasnya dengan serius di mejanya. Ia memang lebih baik dariku. Ya, bahkan sangat lebih.

*****

Aku benci harus berada di rumah. Berada di tengah situasi yang membuatku sangat tidak nyaman dengan kekacauan yang ada. Teriakan dan bentakan sepertinya sudah hampir setiap hari memenuhi setiap sudut rumah. Menggangu konsentrasi belajarku untuk persiapan UN yang sudah di depan mata.

Kututup telingaku dengan kedua tangan. Kembali kubaca rumus-rumus matematika yang tertera di buku cetak yang ada di hadapanku. Melafalkannya berulang-berulang dengan volume pelan. Mencerna satu persatu  agar tak luput untuk masuk dalam memori otakku.

“Jumlah suku ke n samadengan….”

Kadang aku berpikir mungkin lebih baik jika kedua orangtuaku berpisah. Agar tak ada lagi pertengkaran yang akan membuatku merasa semakin bosan untuk hidup. Mungkin aku memang keterlaluan atau mungkin juga tak punya perasaan. Tapi begitulah hidup. Dan begitulah juga aku.

*****

Aku melihatnya bersama Angin di sudut kelas. Dia menangis. Entahlah, tak ada yang berani bertanya kenapa. Begitu juga aku.

Akhir-akhir ini gelap memang tlah menguasai matanya. Beberapa kali kulihat matanya sembab ketika memasuki kelas. Bahkan sering kali air matanya jatuh. Tapi sayangnya, di saat-saat seperti itu aku tak pernah bisa berada di dekatnya.

Seharusnya aku yang berada di sampingnya. Bukan Angin. Seharusnya aku pula yang akan menghapus sisa-sisa air matanya dengan jemariku. Bukan Angin. Tapi ternyata aku terlalu lemah untuk melakukan hal itu.

*****

Aku tak melihatnya di kantin sekolah saat jam istirahat, untuk itu aku mencarinya di kelas. Kutemukan ia di sudut kelasnya yang sepi dengan berurai air mata. Aku menghampirinya, menghapus sisa air matanya dengan jemariku.

Aku tahu merpati tak akan pernah mencintaiku. Walau sudah ratusan kali aku menghapus air matanya dengan jemariku. Tapi aku tak peduli. Karena aku mencintainya dengan ketulusanku.

*****

Aku menemukan namaku di papan pengumuman kelulusan. Berada di bagian atas di bawah namanya. Tapi aku tak melihatnya sejak tadi pagi.

Kutemukan ia di taman belakang sekolah. Duduk sendirian di bawah pohon mangga. Berbeda dengan anak lain yang bahagia melihat namanya lulus, wajahnya terlihat murung.

Aku sudah mendengar berita tentang perceraian kedua orangtuanya. Bahkan aku juga sudah tahu kabar tentang kepindahannya ke Australi. Dan mungkin hari ini adalah hari terakhirku bisa melihat wajahnya secara langsung seperti ini.

“Ehemm..” Aku berdehem di depannya sambil mengulurkan segelas cappucino dingin dari tanganku.
Ia mendongak. Terlihat kaget. Tapi aku tersenyum. Dan akhirnya ia mengambil segelas cappucino yang aku ulurkan.

“Thanks.” Ia tersenyum kepadaku.

“Boleh aku duduk di sini?”

Ia mengangguk sambil mengaduk cappucinonya.

Aku terdiam. Bingung untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk memulai berbicara. Tiba-tiba saja kurasakan aliran darahku membeku seiring detak jantung yang berdetak saling berkejaran dengan waktu. Tubuhku berdesir.

“Kamu..  jadi pindah ke Australi?” Akhirnya pertanyaan itu lah yang memulai semua yang akan terjadi selanjutnya.

“Ya, begitulah.” Ia tersenyum kecut tanpa melihat ke arahku. Selalu saja meperlihatkan kesantaian dan kecuekannya. Tapi dibalik itu semua, aku masih bisa menemukan kesedihan yang tersirat dari kedua matanya.

“…”

“???”

“Kamu nggak sedih?”

“Kenapa harus sedih?” Ia menoleh ke arahku. Ekspresinya datar. Baru sekali ini aku dapat melihat jelas kedua matanya dalam frekuesi sedekat ini. Begitu cantik bola mata coklat itu.

“Mungkin saja.”

“???”

“Mungkin saja ada yang nggak rela kamu pergi. Atau mungkin kamu yang nggak rela buat ninggalin orang itu. Bisa jadi kan?”

Ia tersenyum. Hanya tersenyum. Sesimple itu.

“Aku duluan ya.”

Sebelum pergi, aku mengeluarkan sesuatu yang sudah kubungkus rapi dari dalam tasku, lalu menyerahkan itu padanya. “Baik-baik ya di sana.”

*****

Aku melihatnya duduk bersama pohon di taman belakang sekolah. Hari ini hari pengumuman kelulusan sekaligus hari terakhir dia di sini. Siang ini dia akan berangkat ke Australi.

Aku memang tak suka melihatnya bersama pohon. Cemburu? Mungkin saja. Tapi aku juga sadar, ini yang ia inginkan dari dulu. Bersama pohon. Itu saja. Dan bukankah ini adalah hari terakhirnya di sini?

*****

Aku tak pernah berpikir bahwa pohon akan menghampiriku di saat sebelum aku pergi ke Australi untuk mengikuti ayahku yang sudah bercerai dengan ibuku. Ia membawakanku cappucino dingin kesukaanku, tersenyum manis dan duduk di sampingku.

Aku tak menyukai saat-saat seperti ini. Saat di mana aku akan meninggalkan semua yang pernah aku sayangi. Saat di mana rasanya perpisahan itu adalah akhir dari segalanya. Dan saat dimana air mata rasanya sudah tak sanggup lagi dibendung dan akan pecah berlinang-linang. Padahal aku bisa saja kembali dan bertemu mereka lagi jika aku mau.

Belum pernah aku sedekat ini dengan pohon. Apalagi mengobrol berdua seperti ini. Tapi rasanya aku tak berani untuk mengatakan apapun kecuali hanya menjawab pertanyaannya sebisaku.

“Mungkin saja ada yang nggak rela kamu pergi. Atau mungkin kamu yang nggak rela buat ninggalin orang itu. Bisa jadi kan?”

Kalimat yang keluar dari mulutnya itu membuatku tersentak. Entahlah. Ingin sekali aku mengiyakannya dan berkata “Aku nggak rela untuk berpisah denganmu.” Atau mungkin juga “Aku mencintaimu, pohon.” Tapi lidahku rasanya terlalu kelu untuk mengatakan hal itu. Dan akhirnya hanya senyum yang bisa ku keluarkan. Entah tersenyum untuk apa.

Sebelum ia pergi, ia menyerahkan kotak yang ia bungkus rapi. Kemudian tersenyum dan berlalu. Meninggalnya sepi yang kemudian menjeratku.

*****

Setelah menemuinya di taman belakang sekolah tadi, aku merasa menyesal. Menyesal karena sampai detik ini aku belum bisa mengatakan perasaanku secara langsung. Padahal aku tahu, siang ini ia akan berangkat.

Hanya sebuah kotak berpita putih yang bisa ku berikan padanya, tanpa tahu ia akan membuka dan membaca surat di dalamnya atau tidak.

*****

Kotak berpita putih yang tergeletak di meja. Aku belum pernah membukanya sejak kemarin, setelah pohon mememberikannya padaku.

Cukup dua hari untuk berpikir dan  bertanya-tanya kenapa pohon memberikan kotak itu padaku. Aku mengambil kotak itu dan perlahan-lahan membukanya. Aku tak ingin merasakan perasaan penasaran yang berlebih.

Dalam kotak itu, terdapat sebuah boneka dan sebuah surat. Aku membuka surat itu dan membacanya.

Dear merpati,

Aku tahu saat ini pasti terjadi
Merpati akan selalu terbang
Dan pohon selalu hanya bisa memandang dari tempatnya berdiri
Tapi izinkan aku menjadi pohon tempatmu berhenti
Izinkan aku merelakan dahanku untuk kau tempati
Saat kau lelah untuk terbang tinggi
Izinkan daunku memberikan perlindungan saat kau terluka nanti
Dan biarkan pohon tetap berdiri di tempat yang sama
Agar merpati tahu, ke mana ia akan pulang

Pohon



Tiba-tiba saja darahku seakan berhenti mengalir dan jantungku seakan berhenti berdetak. Air mataku tiba-tiba jatuh begitu saja. Dia ternyata mencintaiku. Dan aku belum sempat menyatakan perasaanku bahwa aku juga merasakan hal yang sama padanya.

“ Aku akan pulang, pohon.. suatu saat nanti. karena aku sudah tahu ke mana arah pulang.”

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar